Kita sebut saja namanya Bambang (oh no, lagi-lagi saya tidak bisa menahan diri utk tidak menggunakan nama ini, setelah begitu sering dipakai dalam banyak tulisan sebelumnya).
Ada apa dengan Bambang ini? Dia sudah bertahun-tahun ingin liburan. Mau kemana dia? Dia mau pergi melihat pantai yang indah, dipenuhi dengan banyak turis, ramai oleh pengunjung. Siang hari bisa berlarian bebas di atas pasir yang menghampar, berjemur di atas tikar, memakai kaca mata hitam, menatap ombak bergulung, minum air kelapa dingin, mantap sekali rasanya. Sedangkan di malam hari, bisa menggelar meja dan kursi di atas pasir, mendengar debur ombak, lampu-lampu menyala terang, menyantap hidangan seafood aduh lezatnya, dihibur oleh musik live artis lokal. Amboi.
Maka cita-cita liburan ini selalu terucapkan oleh Bambang. Ke teman dekatnya, "Gue mau liburan ke sebuah pantai. Pergi jauh ke tempat itu. Semoga bisa segera terwujud.", ke teman sekolah/kerjanya, "Gue pengin banget liburan di pantai, kapan ya bisa tercapai?", ke keluarganya, "gue bosan di sini, gue mau liburan ke pantai!", hingga update status/twet di jejaring sosialnya. Bambang pengin liburan di pantai.
Tidak ada yang salah dengan keinginan Bambang ini. Normal-normal saja. Tapi hampir semua teman, kerabat, sanak famili, hingga teman2 di jejaring sosial bingung. Aduh, Bambang, lu beneran pengin liburan ke pantai? Mereka tidak paham dan tidak habis pikir kenapa Bambang pengin liburan ke pantai. Nah? Kenapa mereka bingung? Jawabannya simpel: karena Bambang kita ini ternyata tinggal di pantai kuta, Bali. Tempat orang-orang jauh di dunia ini justeru ingin datang ke sana. Jadi, bagaimana mungkin Bambang justeru pengin pergi ke pantai lain yg jauh, sedangkan Kuta ada di depan matanya?
Tidak masuk akal bukan? Entahlah. Saya tidak tahu. Saya tidak jelas benar apakah keinginan Bambang ini normal atau tdk masuk akal. Karena boleh jadi kehidupan saya sama seperti Bambang. Kita punya keinginan ini, itu, boleh jadi sebenarnya kita sudah memiliki ini, itu tersebut. Kita merasa terus mencari, mengumpulkan, berhitung, boleh jadi kita sudah punya semua hal tersebut, lengkap di depan mata. Kita ribut pengin hidup bahagia? Aduh, bukankah kita sudah bahagia--bahkan menurut orang2 di sekitar kita hidup kita itu sudah oke banget. Apa lagi yang kurang? Kita mengeluh kurang, semua orang disekitar kita tdk paham, apanya yg kurang sih? Kita ingin lebih cantik? Aduh, semua orang sepakat bilang, kan sudah cantik banget loh?
Tapi boleh dong saya memiliki ambisi untuk selalu lebih? Boleh saja, tidak ada yang melarang. Boleh dong sy punya keinginan2? Boleh. Tapi sekali dua, tdk ada salahnya, ingatlah selalu kisah Bambang ini, karena jangan sampai, kita meributkan sesuatu, mengeluh, menginginkan sesuatu, padahal sejatinya sesuatu itu ada di sekitar kita. Hanya soal, apakah kita mau menyadarinya, menikmatinya, berbahagia dengan yang ada. Dan terakhir: bersyukur dgn yg ada tersebut.
*btw, sebagai epilog, beberapa tahun kemudian, si Bambang bisa pergi ke Phuket, Thailand. menetap di sana. 2 tahun di sana, dia merasa indah sekali pantai itu, tempat yg paling dicita2kan telah bersua. sayangnya, 2 tahun berikutnya, dia mulai bosan, dan kembali bilang: "gue mau liburan ke sebuah pantai. Pergi jauh ke tempat itu". Begitulah kisah si bambang--dan maafkan sy kalau ada yg namanya Bambang, sy hanya comot nama saja.
Note nya Bang Tere