Sudah lama saya dipinjami sebuah buku yang sangat inspiratif berjudul “Like Father Like Son”. Jangan salah kawan, buku ini bukan buku terbitan negara luar, ini asli dari ranah Tanh Air yang ditulis oleh Mohamad Zaka Al Farisi. Buku yang sarat akan hikmah seperti chiken soup versi islaminya .
Ada satu cerita dibagian awal yang membuat saya terkagum-kagum. Dan sekarang saya akan membagikannya kepada teman-teman..
Kisah berikut ini adalah penuturan dari Imam Abu Hanifah. Pada zaman itu, ada seorang ilmuan besar yang sangat terkenal. Sayangnya, ilmuan berkebangsaan Romawi ini seorang atheis dan menolak mentah-mentah keberadaan Tuhan.
Ketika itu, para ulama diam saja dan tidak berusaha untuk menyadarkan si ilmuwan. Tentu saja tidak semua ulama diam, masih ada yang peduli dengan keadaan tersebut. Hal ini bisa berbahaya jika membiarkan si ilmuwan memengaruhi akidah umat. Ulama yang dimaksud adalah guru Abu Hanifah yang bernama Hammad.
Pada suatu hari, orang-orang sudah berkumpul di sebuah masjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang mau berdebat dengannya. Ada maksud tersembunyi di balik tantangan itu. Sesungguhnya, dia bermaksud menjatuhkan para ulama dengan argumen-argumen yang rasional.
Si ilmuwan semakin congkak, apalagi setelah tantangannya tak bersambut. Dia menyangka semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorang pun yang berani menyambut tantangannya. Hal ini semakin diperkuat dengan suasana di dalam masjid yang tiba-tiba hening. Beberapa orang saling pandang, ada pula yang mengarahkan pandangan ke deretan paling depan tempat beberapa ulama duduk.
Dari sekian banyak hadirin, ada seorang pemuda yang merasa sebal melihat kecongkakan si ilmuwan. Namun, dia berusaha menahan diri, barangkali ada seorang ulama senior yang berani tampil menghadapi tantangan itu.
Sang Pemuda menunggu lama. Setelah yakin tak ada yang mau maju, barulah dia berdiri dan melangkah menuju mimbar.
“Saya Abu Hanifah, siap berdebat dengan Anda,” kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri. Mata Abu Hanifah berusaha untuk menguasai suasana, namun dia tetap merendahkan diri karena usianya yang masih muda.
Semua mata hadirin tertuju ke arah Abu Hanifah. Mereka merasa heran melihat keberanian sang pemuda. Beberapa orang mengatakan salut kepada Abu Hanifah, si ilmuwan sendiri merasa heran melihat keberanian Abu Hanifah. Akan tetapi, kebanyakan hadirin bersikap sinis terhadap Abu Hanifah dan menyepelekan kemampuannya. Ada pula yang mempertanyakan motif Abu Hanifah tampil kedepan. Apakah sekadar asal tampil, membuat sensasi, atau mencari popularitas.
Namun, wajah Abu Hanifah tetap tenang. Beliau tidak terpengaruh oleh berbagai bisikan yang ada termasuk yang bernada miring sekalipun.
—–
Abu Hanifah berkata, “Sekarang apa yang akan kita perdebatkan..? “.
Ilmuan kafir itu heran akan keberanian Abu Hanifah, dia lalu memulai pertanyaannya :
Atheis : Pada tahun berapakah Tuhan-mu dilahirkan?
Abu Hanifah : Allah berfirman “Dia (Allah) tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan”.
Atheis : Masuk akalkah bila dikatakan bahwa Allah adalah yang pertama dan tidak ada sesuatu sebelum-Nya? , pada tahun berapa Dia ada?
Abu Hanifah : Dia (Allah) ada sebelum adanya sesuatu.
Atheis : Kami mohon diberikan contoh yang lebih jelas dari kenyataan!
Abu Hanifah : Tahukah tuan tentang perhitungan?
Atheis : Ya.
Abu Hanifah : Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis : Tidak ada angka (nol).
Abu Hanifah : Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa tuan heran kalau sebelum
Allah Yang Maha satu yang hakiki tidak ada yang mendahului-Nya?
Atheis : Dimanakah Tuhan-mu berada sekarang?, sesuatu yang ada pasti ada tempatnya.
Abu Hanifah : Tahukah tuan bagaimana bentuk susu?, apakah di dalam susu itu keju?
Atheis : Ya, sudah tentu.
Abu Hanifah : Tolong perlihatkan kepadaku di mana, di bagian mana tempatnya keju itu sekarang?
Atheis : Tak ada tempat yang khusus. Keju itu menyeluruh meliputi dan bercampur dengan susu di seluruh bagian.
Abu Hanifah : Kalau keju makhluk itu tidak ada tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak tuan meminta
kepadaku untuk menetapkan tempat Allah Ta’ala?, Dia tidak bertempat dan tidak ditempatkan!
Atheis :Tunjukkan kepada kami zat Tuhan-mu, apakah ia benda padat seperti besi, atau benda cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Abu Hanifah : Pernahkan tuan mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis :Ya, pernah.
Abu Hanifah : Sebelum ia meninggal, sebelumnya dia bisa berbicara dengan tuan dan menggerak-gerakan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam tak bergerak, apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis : Karena rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah : Apakah waktu keluarnya roh itu tuan masih ada disana?
Atheis : Ya, masih ada.
Abu Hanifah: Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat seperti besi, atau cair seperti air atau menguap seperti gas?
Atheis : Entahlah, kami tidak tahu.
Abu Hanifah : Kalau tuan tidak boleh mengetahui bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk,
bagaimana tuan boleh memaksaku untuk mengutarakan zat Allah Ta’ala?!!
Atheis : Ke arah manakah Allah sekarang menghadapkan wajahnya? Sebab segala sesuatu pasti mempunyai arah?
Abu Hanifah : Jika tuan menyalakan lampu di dalam gelap malam, ke arah manakah sinar lampu itu menghadap?
Atheis : Sinarnya menghadap ke seluruh arah dan penjuru.
Abu Hanifah : Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma buatan itu, bagaimana dengan Allah Ta’ala Pencipta langit
dan bumi, sebab Dia nur cahaya langit dan bumi.
Atheis : Kalau ada orang masuk ke syurga itu ada awalnya, kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Abu Hanifah : Perhitungan angka pun ada awalnya tetapi tidak ada akhirnya.
Atheis : Bagaimana kita boleh makan dan minum di syurga tanpa buang air kecil dan besar?
Abu Hanifah : Tuan sudah mempraktekkanya ketika tuan ada di perut ibu tuan. Hidup dan makan minum selama sembilan
bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita melakukan dua hajat tersebut setelah keluar
beberapa saat ke dunia.
Atheis : Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dinafkahkan?
Abu Hanifah : Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak, seperti ilmu. Semakin diberikan (disebarkan) ilmu kita semakin berkembang (bertambah) dan tidak berkurang.
“Ya! kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, apa yang sedang Allah kerjakan sekarang?” tanya
Atheis.
“Tuan menjawab pertanyaan-pertanya an saya dari atas mimbar, sedangkan saya menjawabnya dari atas lantai. Maka untuk menjawab pertanyaan tuan, saya mohon tuan turun dari atas mimbar dan saya akan menjawabnya di tempat tuan”, pinta Abu Hanifah.
Ilmuwan kafir itu turun dari mimbarnya, dan Abu Hanifah naik di atas.
“Baiklah, sekarang saya akan menjawab pertanyaan tuan. Tuan bertanya apa pekerjaan Allah sekarang?”.
Ilmuwan kafir mengangguk.
” Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan. Pekerjaan-Nya sekarang ialah bahwa apabila di atas mimbar sedang berdiri seorang kafir yang tidak hak seperti tuan, Dia akan menurunkannya seperti sekarang, sedangkan apabila ada seorang mukmin di lantai yang berhak, dengan segera itu pula Dia akan mengangkatnya ke atas mimbar, demikian pekerjaan Allah setiap waktu”.
Para hadirin puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hanifah dan begitu pula dengan ilmuwan besar atheis tersebut dia mengakui kecerdikan dan keluasan ilmu yang dimiliki Abu Hanifah. Penjelasan Abu Hanifah sangat jelas, lugas, tegas dan mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun.
Mungkin kita pernah mengajukan pertanyaan seperti Ilmuan Kafir di atas baik secara langsung ataupun hanya di hati saja. Ya, memang begitulah sifat manusia yang selalu ingin tahu, tapi sayangnya ilmu yang kita punya masih terlampau sangat-sangat sedikit untuk menjelaskan itu semua. Semoga cerita di atas bisa menjawab rasa penasaran teman-teman, sehingga kita dapat kukuh memegang akidah. Amiin Allahuma amiin.
Salah satu tugas agama ialah memelihara akal. Memelihara akal ialah dengan jalan menambah ilmu melatih diri berfikir & merenungkannya. .